• KEAGUNGAN AL QURAN

    Al-Quran adalah cahaya yang menerangi kebutaan, penawar hati yang menyembuhkan penyakit dan kehampaannya, suguhan lezat bagi jiwa, taman indah sanubari, penuntun nurani menuju negeri yang damai.

  • BUAH TARBIYAH

    Kita bukanlah orang yang sudah benar-benar baik apalagi terbaik, melainkan hanya orang yang keburukannya tertutupi.

  • DOSA-DOSA YANG DIREMEHKAN

    Tidak halal seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari 3 hari. Siapa yang mendiamkan saudaranya lebih dari 3 hari kemudian ia mati, maka ia masuk neraka.

  • CIRI PENGHUNI SURGA

    Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh. Inilah yang dijanjikan kepadamu.

  • SEREMONI

    Sejak pagi keluarga mempelai perempuan bersiap diri menyambut tamu yang telah lama dinanti-nanti. Akhirnya datang juga. Mempelai laki-laki dikawal rombongan sekeluarga.

21 Maret 2023

Kenapa Kita Mudah Kecewa?

"Kenapa kita mudah kecewa kepada orang lain?"

Mungkin pertanyaan di atas sesuai dengan keadaan diri kita. Atau boleh jadi ada yang merasa pertanyaan itu tak cocok baginya. Ia lebih memilih membuat pertanyaan, "Kenapa orang lain selalu mengecewakan saya?" Atau pertanyaan-pertanyaan yang intinya menjadikan dirinya sebagai objek penderitaan.

Pertanyaan pertama adalah pertanyaan yang mengarah pada renungan menuju kedewasaan atau kematangan diri. Ia adalah pertanyaan yang selalu mencurigai diri sendiri sebagai biang keladi semua persoalan yang menimpanya. Ia adalah pertanyaan yang mencari-cari dan menengok ke dalam diri sendiri, ada kesalahan apa pada dirinya sehingga mudah kecewa pada orang lain.

Sedangkan pertanyaan kedua adalah sebaliknya. Bisa kita rincikan sendiri.

Jadi, kenapa kita mudah kecewa pada orang lain?

Jawabnya mudah. Karena kita mengharapkan orang lain menjadi sama dengan yang kita inginkan. Kita menggunakan ukuran kita untuk mengukur orang lain. Kita menggunakan selera kita untuk menilai orang lain. Kita hanya memandang dari sudut pandang kita yang tentunya berbeda dari sudut pandang orang lain yang kita kecewa kepadanya.

Misalnya, kita bertanya kepada orang lain ia memilih A atau B, tapi dalam hati kita berharap ia memilih A, sedangkan kenyataannya ia memilih B. Atau kita berharap seseorang yang kita jadikan tempat bertanya menjawab dengan jawaban yang memuaskan, sementara ia sama sekali tak bisa menjawab. Maka jadilah kita kecewa.

Misalnya pula, seorang suami yang mengharapkan pulang ke rumah disambut oleh istri dan anak-anaknya dengan sambutan hangat penuh kerinduan. Tapi ternyata tidak. Sang istri sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai. Sementara anak-anak sedang asyik bermain sehingga rumah tampak berantakan.

Atau seorang istri yang berperan menjadi ibu rumah tangga, ia berharap suaminya pulang ke rumah dalam kondisi ceria dan bisa bergantian membantu menyelesaikan pekerjaan rumah atau menemani anak-anak. Tapi ternyata sang suami pulang masih membawa masalah dari tempat pekerjaannya sehingga ia tampak suntuk.

Seorang murid bisa kecewa pada gurunya karena sang guru ternyata memiliki perilaku yang dianggap jauh dari kesempurnaan, atau ketika ia memiliki pertanyaan maka sang guru tak bisa menjawabnya dengan memuaskan. Sebaliknya seorang guru bisa kecewa pada muridnya karena kurang adab, tidak bisa menyerap pelajaran dengan baik dan kadang perilakunya menjengkelkan.

Rakyat kecewa pada pemimpinnya karena dianggap tak bisa memimpin dengan baik. Anehnya di saat yang sama pemimpin juga kecewa kepada rakyatnya karena tak bisa dipimpin, mudah mengeluh dan protes kepada pemimpinnya.

Dan seterusnya, dan seterusnya.

Dalam hal kondisi di mana ada satu pihak yang kecewa kepada pihak lain, atau kedua pihak yang akhirnya saling kecewa satu sama lainnya, maka dipastikan ada sesuatu yang salah. Salah berharap. Salah mengukur. Menilai orang lain dengan standard yang sama dengan yang ada pada dirinya. Sedangkan orang lain berharap ingin dimengerti, ingin dipahami. Dan begitulah keadaan sejatinya semua orang.

Jadi, kenapa kita mudah kecewa?

Pertama, karena kita memasang harapan yang tak bisa ditawar terhadap orang lain. Kita berharap orang akan memberikan kita 10 namun ternyata mereka hanya memberi kita 5.

Kedua, karena kita tak mau memulai untuk memahami atau mengerti keadaan orang lain. Kita inginnya selalu dipahami dan dimengerti, seolah semua orang terlahir untuk menjadi pelayan kita.

Ketiga, mungkin karena kita terlalu menggantungkan harapan pada sebab-akibat secara duniawi, sementara kita lupa bahwa penentu segala hal yang kita dapatkan adalah Dia Yang Mahakuasa, Allah Rabbul 'aalamiin.

Setelah ini, masihkah kita mudah kecewa? []

Share:

24 November 2021

40 Butir Renungan

1. B
anyak orang menyaksikan kematian tapi mereka lupa bahwa diri mereka sendiri akan mati. Bahkan jika pun mereka berkata, “Kita akan menyusul”, tetap saja mereka lupa. Hati telah terisi penuh dengan dunia. Dan manusia hanya akan kehilangan dirinya sendiri.

2. Bagaimana mungkin seorang aktor pemeran orang kaya bangga dengan kekayaan tokoh yang diperankannya? Dan bagaimana mungkin seorang aktor pemeran orang miskin bisa merasa hina dan berputus asa dengan kemiskinan tokoh yang diperankannya? Tapi banyak aktor yang lupa bahwa mereka hanya sedang bermain peran. Dan banyak penonton yang ikut tertipu dengan permainan peran itu.

3. Mayoritas manusia memang aneh. Setiap hari mereka mengejar sesuatu yang kelak hanya akan disesalinya. Dan bagi mereka yang telah tahu akan bahaya penyesalan itu, mereka pun malas berjuang untuk bisa terbebas darinya (dari rasa sesal abadi itu).

4. Begitu banyak orang berkelahi hingga saling bunuh untuk memperebutkan kesenangan dunia. Tapi tak ada ceritanya orang sampai berkelahi untuk memperebutkan kesenangan akhirat. Sebab, dunia itu sempit sehingga para pemburunya mudah saling bersinggungan. Sedangkan akhirat itu luas sehingga para pemburunya yakin bahwa mereka akan meraih bagiannya masing-masing seluas langit dan bumi, serta yang lebih dari itu.

5. Jika hati anda gelisah, maka anda akan mencurahkannya kepada orang terdekat yang anda percayai. Tapi bagaimana jika orang itu juga dalam keadaan gelisah?

6. Terlalu banyak melihat masa depan membuat seseorang ketakutan atau sering berangan-angan. Terlalu banyak menengok masa lalu membuat seseorang bersedih atau bernostalgia belaka. Tapi tanpa melihat masa depan dan menengok masa lalu bisa membuat seseorang tak ada nilainya di masa kini. Dan dia pun akan hilang di telan waktu.

7. Di dalam hati seseorang ada sesuatu yang selalu dilihatnya dengan mata, ada sesuatu yang selalu didengarnya dengan telinga dan ada sesuatu yang selalu diucapkannya dengan lisan. Tapi hati itu sendiri tak boleh diisi dengan nama dunia. Ia hanya boleh diisi dengan nama Tuhannya Yang Esa. Maka haruskah seseorang dibutakan, ditulikan, dan dibisukan saja, agar yang bekerja hanyalah hatinya?

8. Jika kita salah tingkah dengan kehadiran orang-orang yang lebih berkedudukan daripada kita atau orang-orang yang memiliki tempat di salah satu ruang di dalam hati kita, maka mungkin kita belum benar-benar mengenal Allah.

9. Alangkah susahnya menjadi pemalu. Ia akan sulit bergaul dengan masyarakatnya. Tapi alangkah meruginya orang yang terlalu banyak bergaul. Ia lupa akan hakikat pergaulan itu dan ia pun bisa kehilangan rasa malunya.

10. Jangan sampai anda jatuh cinta. Sebab, “jatuh cinta” atau fall in love itu gambaran diri manusia lemah. Lihatlah seseorang yang jatuh cinta. Ia ‘kan mengukir hari-harinya dalam kesedihan dan kerinduan mendalam. Ia tenggelam dalam lamunan, tertawa, tersenyum dan menangis begitu saja; ia menjadi gila karena cinta. Karenanya, raihlah sensasi rise in love (naik, bangkit, dan meninggi dalam cinta). Sebab, cinta itu hakikat nan agung dan mulia. Ia adalah impresi sekaligus ekspresi seorang hamba yang terikat kuat dengan Dzat yang menakdirkannya punya rasa cinta. Dengan cinta, hidup ‘kan meninggi menuju kemuliaan sejati. Segenap insan dalam kehidupan kita akan merasakan berkah mulia dari cinta itu. Maka mohonlah cinta kepada-Nya. “Allahumma innaa nas-aluka hubbaka, wa hubba man yuhibbuka, wa hubba ‘amalin yuqarribunaa ilaa hubbika (Ya Allah, kami mohon cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu, dan cinta amal-amal yang mendekatkan kami kepada cinta-Mu), Ya Dzal Jalaali wal Ikraam.”

11. Ketika seorang hamba merenung dalam kesendirian, dan ia teringat kepada-Nya, maka saat itu ia akan merasakan sensasi luar biasa. Kulitnya bergetar; tubuhnya bergoncang; lisannnya terus mengucap tasbih, tahmid, takbir, istighfar dan doa; mengalir deras air mata kecintaan; dan hatinya pun bertaubat, ia kembali pada Tuhannya. Di saat-saat itulah ia merasakan sensasi keimanan. Dan di saat-saat itulah apa yang dipikirkannya bisa sangat bersesuaian dengan kenyataan. Maka, “Berhati-hatilah dengan firasat mu’min!”.

12. Jadikanlah rangkaian hidup anda menuju ke arah tujuan abadi dan jangan bercabang-cabang dalam mencari simpati. Niscaya usia yang singkat akan menjadi panjang. Ia akan sepanjang sejarah kehidupan manusia, bukan sesingkat bilangan usia itu sendiri. Dan pekerjaan kecil akan menjadi besar, serta kesuksesan atau kegagalan sama-sama menjadi keberuntungan dan kebahagiaan yang nyata.

13. Kecewa terhadap keadaan atau tingkah laku seseorang menunjukkan tidak sejalannya harapan kita dengan kenyataan. Jika kita mudah kecewa dengan kekecewaan mendalam yang tersalurkan dalam duka hati berkepanjangan, maka mental yang kita miliki adalah mental ingin dilayani. Sebaliknya, jika kita sering membuat orang lain kecewa, maka itu menunjukkan bahwa kita gagal menjadi pelayan bagi mereka. Seringkali sempitnya hati menjadi faktor yang mengaburkan keikhlasan kita sebagai pemimpin atau yang dipimpin.

14. Jika kita terhalang untuk menerima nasihat orang lain hanya karena ia berbeda dengan kita atau karena kita menganggap dirinya tidak lebih baik daripada kita, maka akuilah bahwa hawa nafsu telah berkuasa atas hati dan pikiran kita. Dan waspadalah! Apabila kita terus menerus demikian, maka kita sedang memelihara kebodohan.

15. Jika adanya kita sama dengan tiadanya kita, maka kita adalah orang yang tiada bermakna. Dan jika tiadanya kita lebih baik daripada adanya kita, pasti kita adalah problem maker. Bila kita mengambil untung dari masalah, mungkin kita hanyalah problem speaker atau problem trader yang menyedihkan. Karenanya, jadilah kita problem solver, seorang yang bermakna bagi kehidupan. Jika kita ada, menghadirkan kebahagiaan. Dan jika kita tiada, kehadirannya dirindukan. Namun yang terpenting bagi kita, kita tak ingin memasukkan “kebahagiaan” dan “kerinduan” itu dalam kalkulasi pengorbanan kita.

16. Saat kita berbuat baik, seringkali kita m­engharap balasan atas perbuatan baik itu. Jika kita renungkan dengan kesadaran yang menembus batas-batas dunia, maka bukankah kebaikan yang kita perbuat itu merupakan karunia yang Allah limpahkan untuk kita?

17. Semata-mata menangkap peluang untung seraya meninggalkan kebersamaan yang di dalamnya kita terhitung adalah sesuatu yang buntung. Tapi tenggelam dalam kebersamaan seraya lupa untuk terus menggali potensi diri yang dalam adalah juga sesuatu yang kelam. Untung kita bersama, bersama kita untung.

18. Jika anda menerima kiriman sebuah foto yang di dalamnya ada gambar anda dan teman-teman anda, maka gambar siapakah yang pertama kali menjadi pusat perhatian anda? Ya, pasti gambar anda yang pertama kali anda cari dan perhatikan. Begitulah seharusnya jika anda mendapati sebuah pemandangan global dalam kehidupan ini. Begitulah semestinya jika ada ketidakberesan di dekat anda. Begitulah selayaknya jika anda ingin melontarkan kritik atau hendak menyalahkan orang lain dan mencela keadaan. Maka berpikirlah dua kali jika anda ingin menyalahkan orang dan mencela keadaan. Bercerminlah pada kondisi yang ada sebagai gambaran diri anda sendiri. Apa yang sudah anda lakukan? Maka tepat sekali ungkapan Imam Syafi’i dengan bahasa hikmahnya, “Kita mencela zaman padahal kehinaan ada pada kita. Sungguh, di zaman kita, tak ada kehinaan selain kita. Tetapi, kita telah menghina zaman yang tak berdosa.”

19. Tutuplah mata anda dari melihat kekurangan yang ada pada pribadi guru-guru anda. Sebab, jika anda selalu membuka mata atas kekurangan dan kesalahan mereka, anda tak akan bisa mengambil pelajaran dari mereka. Yang terpenting bagi seorang murid adalah mampu menjaga etika dan berlaku sopan, memuliakan para gurunya sebagaimana para ‘alim berhak menerimanya. Bukan berarti anda mengkultuskan mereka, melainkan karena posisi mereka yang memang lebih tinggi dan lebih utama dibanding anda.

20. Ada orang kerja keras “banting tulang” tapi hasilnya hanya sedikit. Ada orang kerja santai sambil berleha-leha tapi hartanya berlimpah. Keadilan Tuhan jangan diukur dengan selera keadilan kita. Kesuksesan dan kegagalan hanyalah bayang-bayang. Yang terpenting ialah bagaimana kita bisa memaknainya sebagai sarana menuju kebahagiaan sejati.

21. Betapa menderita seseorang yang selalu mendengar apa kata orang tentang dirinya, hingga ia berhenti dari amal kebaikan yang sedang ditekuninya. Lebih menderita lagi orang yang tak pernah mau tahu apa kata Allah tentang dirinya, hingga ia tak mau berhenti dari amal keburukan yang tengah digandrunginya.

22. Jadilah anda di atas jalan kebenaran sebagai seorang yang berilmu dan beramal. Kalau tidak bisa, maka jadilah seorang pencari ilmu (pembelajar). Kalau tidak bisa, maka jadilah pendengar yang setia. Kalau tidak bisa, maka jadilah seorang simpatisan (kepada pejuang kebenaran). Kalau tidak bisa juga, maka setidaknya janganlah menjadi penentang apalagi musuh bagi para pejuang kebenaran. Dan kalau masih juga tidak bisa, maka sebenarnya anda ini mau jadi apa?

23. Jika ada seseorang yang berbuat baik kepada anda dengan begitu tulus, maka benih-benih cinta kepadanya akan tumbuh di hati anda. Tapi anda lupa bahwa Allah telah memberi anda kebaikan yang paling besar sempurna dari ujung rambut sampai ujung kaki, serta melimpahkan kebaikan-kebaikan yang tersedia di alam semesta, semua telah ditundukkan-Nya bagi anda, sedangkan Dia tak pernah butuh balasan. Maka tidakkah sepatutnya cinta yang terbesar hanya anda tujukan kepada-Nya?

24. Selalu mencari-cari kesalahan dan kekurangan orang untuk menjatuhkan mereka di depan umum bukanlah sikap terpuji. Tapi membiarkan kesalahan dan kekurangan orang yang ada di depan mata padahal memiliki kemampuan untuk meluruskannya adalah di antara bentuk keterbelengguan hati.

25. Ketika seorang pemimpin atau guru banyak mengeluhkan ketidakdewasaan pengikut atau muridnya, kemudian mendesak-desak mereka agar mau bersikap dewasa kepadanya, maka sebenarnya dia itu belum dewasa. Ini perkara yang mirip dengan seorang pejabat yang meminta kepada rakyatnya dengan memelas, “Tolonglah rakyat jangan terlalu banyak menuntut, mengertilah sedikit akan beban yang saya rasakan, pekerjaan saya sudah terlalu banyak, tolong jangan buat saya tambah pusing!”.

26. Seorang yang senyuman di hatinya mendahului senyuman di wajahnya adalah ia yang membahagiakan untuk disahabati, meskipun ia berada di tempat yang jauh dan belum lagi tersenyum padamu. Adapun seorang yang kebencian di hatinya mendahului kebencian di wajahnya adalah ia yang menderitakan untuk diakrabi, sekalipun ia selalu tersenyum dan menampakkan kebaikannya saat berada di dekatmu.

27. Tidak ada hinanya jadi orang kampung, yang hina adalah jika orang kampung pergi ke kota dan kehilangan harga dirinya di sana, lebih tragis lagi jika harga diri itu sudah hilang sebelum ia pergi ke kota. Dan tidak ada mulianya menjadi orang kota, yang mulia adalah jika orang kota tidak merasa lebih utama daripada orang kampung, lebih mulia lagi jika perasaan itu sudah ada sebelum ia menginjakkan kakinya di suatu kampung.

28. Tidak ada hinanya jadi orang miskin, yang hina adalah jika orang miskin bertemu orang kaya lalu ia pun kehilangan harga dirinya. Lebih tragis lagi jika harga diri itu sudah hilang sebelum ia bertemu orang kaya. Dan tidak ada mulianya jadi orang kaya, yang mulia adalah jika orang kaya tidak merasa lebih utama daripada orang miskin. Lebih mulia lagi jika perasaan itu sudah ada sebelum ia bertemu dengan orang miskin. Di mata orang yang tercerahkan tak lagi ada masalah mengenai perkara semacam itu.

29. Keberhasilan yang membahagiakan adalah keberhasilan yang anda rasakan sebagai buah kesabaran menempuh kesulitan-kesulitan dalam pengerjaan proyek kebaikan yang telah anda niatkan sebagai pendekatan diri kepada-Nya.

30. Sungguh aneh manusia itu. Seringkali ia bersedih dan menangisi sesuatu yang sebenarnya bukan miliknya ketika sesuatu itu menghilang darinya. Sebaliknya ia seringkali abai dan menyia-nyiakan sesuatu yang menjadi miliknya ketika sesuatu itu masih berada di sisinya. Kelak ia akan mengabaikan sesuatu yang bukan miliknya itu dan menangisi sesuatu yang merupakan miliknya, saat mana tiada lagi kematian.

31. Kebahagiaan sejati tak pernah mau mengambil kekayaan, kedudukan, popularitas dan segala pernik-perniknya sebagai variabel yang selalu identik melekat padanya. Sementara, kemiskinan dan kepahitan cobaan hidup bukanlah sesuatu yang selalu menderitakan.

32. Persangkaan buruk seorang murid terhadap gurunya atau seorang pengikut terhadap pemimpinnya hanya akan merugikan dirinya sendiri. Namun persangkaan buruk seorang guru kepada muridnya atau seorang pemimpin kepada pengikutnya berpotensi membawa kerugian bagi dirinya sendiri dan terhadap murid atau pengikut yang dia prasangkai itu.

33. Jangan kecewa jika usaha yang maksimal belum juga membuahkan hasil yang diharapkan. Seringkali kekecewaan terhadap apa yang ada menjadi pangkal ketidaksyukuran. Namun jangan terlalu berpuas diri jika usaha yang biasa-biasa saja membuahkan hasil yang luar biasa. Seringkali kepuasan diri yang berlebihan menyebabkan keberhentian amal, terlena dalam kesenangan. Selalulah curigai diri sendiri bahwa apa-apa yang diusahakan belum mencapai batas maksimal potensi yang ada, dan hal itu juga merupakan ketidaksyukuran.

34. Senyum yang berbingkai ketulusan hati kepada sesama adalah senyum yang tak berhenti mengembang ketika berpisah setelah sekilas wajah bersitatap. Sedangkan senyum yang berbungkus keterpaksaan adalah senyum yang segera menghilang setelah sekilas senyum itu disunggingkan kepada sesama sekalipun wajah masih bersitatap.

35. Persepsi negatif, prasangka, atau pandangan buruk orang lain tentang diri kita kerapkali merupakan kendaraan yang diberikan Allah kepada kita untuk menuju keindahan rasa ikhlas dan ridha kepada-Nya.

36. Seiring bergeraknya usia, bertumbuhnya peran, beralihnya episode dan lembar kehidupan, maka bertambahlah peluang mencintai dan dicintai. Tapi sebaliknya juga bertambah pula peluang membenci dan dibenci. Semua itu adalah ujian dan tabiat kehidupan. Menjadi aneh jika seseorang tidak semakin dewasa dalam menempuhnya.

37. Janganlah anda terkejut dengan perubahan pada dunia ini dan orang-orang di sekitar anda. Sebab, semua itu memang menjadi kepantasan dalam kehidupan. Kebahagiaan anda harus tidak bergantung pada dunia dan orang-orang tersebut, bahkan tidak juga pada diri anda sendiri.

38. Kepandaian membaca teks tanpa kepandaian membaca konteks akan memunculkan kejumudan, kaku dan mudah menghakimi.

39. Perjuangan hidup akan menemukan maknanya jika kita berada di tempat dan suasana yang kita rasa kurang nyaman. Di sanalah pengorbanan dirasakan, bukan pada tempat dan suasana yang menyamankan selera kita.

40. Jika anda ditempatkan di lingkungan yang lebih baik daripada keadaan anda, itu artinya anda sedang diperbaiki. Tapi jika anda ditempatkan di lingkungan yang tidak lebih baik menurut ukuran anda dan anda pun tak bisa mengelak darinya, maka itu artinya anda dituntut melakukan perbaikan. Selalulah menjadi orang baik yang melakukan perbaikan.

 

Share:

22 November 2021

Good vs Bad People dalam Organisasi

Orang yang baik akan membuat organisasi tempatnya berkiprah menjadi baik juga. Jika tak bisa, maka ia harus memilih untuk bersabar dalam kebaikannya, atau ikut-ikutan menjadi buruk, atau pergi mencari tempat lain yang mau menerima dan menumbuh-suburkan kebaikannya.

Orang yang buruk bisa membuat organisasi tempatnya berada menjadi buruk juga. Namun jika ternyata kebaikan di lingkungan organisasinya terlalu kuat, maka ia harus memilih untuk bertahan dalam keburukannya, atau ikut manjadi baik, atau pergi mencari tempat yang mau menerima dan mendukung keburukannya.

Manajemen organisasi yang baik bisa membuat orang buruk menjadi baik atau lambat laun orang buruk itu akan tersingkir dengan sendirinya. Dan manajemen yang buruk bisa membuat orang baik menjadi buruk atau lambat laun orang baik itu akan menarik diri dengan sendirinya.
Share:

06 Maret 2019

Sensitivitas Kebersamaan

Ada kegawatan serius, kesedihan mendalam, dan kegelisahan yang menghimpit hati, ketika saling umpat, cela, curiga dan saling menjatuhkan mewabah di dalam masyarakat (komunitas) yang terbentuk di atas rasa senasib sepenanggungan. Itulah nasib peruntungan akhirat yang diawali oleh suatu hari yang besar, saat mana tiada keselamatan kecuali dengan izin-Nya.
Malang jiwa mereka yang menyesalkan perilaku saudaranya yang tidak bisa mengikuti selera perfeksionisnya. Ia terus memprotes orang-orang yang dianggap bertindak semaunya, padahal ia sendiri tidak proaktif mengkomunikasikan kemauan bersama. Dan protesnya itu terlontar dalam gerutuan yang tersebarluas, tanpa pernah mau bicara dari hati ke hati dengan saudaranya itu. Ia berlega hati saat ada saudaranya yang lain berlaku sesuai aturan – yang sejatinya sarana ikhtiyari (alternatif) untuk meraih prestasi yang sama-sama ditempuh dalam koridor kebaikan. Semua itu telah tercatat rapi dalam Kitab Induk yang nyata.
Ia ibarat seorang Kyai, tak terima ada santri yang tidak memakai sarung, baju koko dan kopiah, tapi malah memakai jubah gaya Timur Tengah. Padahal cara berpakaian tidaklah termasuk dalam aturan, kecuali ketentuan umum harus sopan dan menutup aurat. Ia memberi apresiasi lebih pada santri yang bersarung dan berbaju koko – sejatinya itu tradisi tapi telah dianggap sebagai kelaziman. Namun saat ia melihat ada ketidaksempurnaan dalam teknisnya (santrinya itu ternyata memakai baju koko berwarna hitam padahal seharusnya putih), maka ia pun protes lagi, lalu protesnya itu menjadi buah bibir yang tersebar luas. Saat ada yang begini, ia protes. Dan saat ada yang begitu, ia protes pula. Siapa sebenarnya yang ia gerutui?
Derita nasib mereka yang tak pernah puas dan berlapang hati atas kepemimpinan para pemimpin yang dulu mereka dukung dan banggakan karena prospek yang menjanjikan. Saat kenyataan terjadi tak sesuai harapan, mereka pun menggerutu dan menyebarkan desas-desus, berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan, dan bergunjing di antara mereka sendiri. Bahasa apakah yang mereka gunakan untuk menuturkan kesedihannya?
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka adalah dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah bergunjing satu sama lain. Adakah seseorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12). Semoga bahasa taubat?
Mengapa terus bergelimang dalam kubangan prasangka yang tak lain adalah akibat ketidakmampuan memimpin atau berperan sebagai yang terpimpin? Ia yang kecewa kepada pemimpin, maka apakah ia telah bersungguh-sungguh menjalankan perannya? Atau ia yang kecewa kepada pengikut, maka sudahkah ia pimpin mereka dengan baik?
Yang dibutuhkan dalam suasana krisis (krisis kebersamaan, krisis tujuan, dan krisis apapun) adalah keteladanan dari siapa saja – baik pemimpin maupun yang dipimpin – agar setiap orang ingin berada pada posisi memberi dan bukannya selalu menuntut. Yang banyak menuntut, selayaknyalah memiliki sumbang saran yang membangun. Dan yang merasa selalu dituntut, janganlah menuntut para penuntut agar mereka meredam tuntutannya. Jangan mudah kecewa sekalipun keadaannya menuntut hatimu kecewa. Dan jangan gampang mengecewakan karena mereka menaruh harapan yang tinggi atas prestasimu.
Semoga pesan ini bukan pembenaran bagi para pemimpin yang tak mau memperbaiki kepemimpinannya, dan bukan juga apologi bagi para terpimpin yang berharap mendapat tugas ringan atau dibebaskan dari tugas dengan alasan keterbatasan dirinya.
Kecewa terhadap keadaan atau tingkah laku orang lain menunjukkan tidak sejalannya keinginan dengan kenyataan. Jika kita mudah kecewa dengan duka hati yang berkepanjangan, maka mentalitas yang kita miliki adalah mentalitas ingin dilayani. Sebaliknya, jika kita mudah membuat orang lain kecewa, maka itu menunjukkan bahwa kita telah gagal menjadi pelayan (pemimpin) mereka. Seringkali sempitnya hati dan pikiran (kurangnya kedewasaan) menjadi sebab yang membatalkan keikhlasan kita sebagai pemimpin atau yang dipimpin.
Beberapa orang rela menjadi “PNS” (Pencari Nafkah Serabutan) demi visi besar yang diyakininya. Bukannya tak ingin punya pekerjaan yang mapan, tapi begitulah kecenderungan dan tuntutan keadaan. Pada saatnya nanti, mereka niat beralih menjadi PNS sungguhan karena bosan dengan minimnya dukungan, kecuali yang sanggup bertahan. Sering kita lihat mereka bekerja dengan serius di tengah ‘kelaparan’ (bukan karena puasa). Sementara banyak di antara kita yang karena ‘kekenyangan’ malah jadi malas beramal.
Lantaran kejahilan, kita mengira mereka adalah orang kaya, terlihat dari penampilan dan sikap ‘iffah mereka (QS. 2: 273). Seorang “guru honorer” baru saja pulang dari tempat tugasnya yang jauh. Ban sepeda motornya bocor dan ia pun harus mampir ke tukang tambal ban di pinggir jalan. Ia kisahkan hal itu kepada beberapa teman sesampainya ia di kota. Tanpa beban ia berkata, “Untung di dompet saya masih ada uang sepuluh ribu!”. Sebagian temannya hanya tersenyum, tapi sebagian yang lain bahkan tak ingin mendengarkan.
Karikatur kebersamaan yang mati rasa umpama seorang kaya dikunjungi sahabat lama yang tak seberuntung dirinya. Ia menjamu sahabatnya itu hanya dengan segelas air padahal sahabatnya itu sedang lapar dan sengaja datang tepat jam makan siang. Sementara di dekatnya seekor kucing peliharaan menyantap makanan bermerk yang mahal harganya. Ketika sahabat lama ini mulai membuka pembicaraan, si tuan rumah malah sibuk dengan hobi permainannya. Ia mengangguk-angguk saat sahabatnya bicara padahal ia tak benar-benar memperhatikannya. Ia sedang menikmati dunianya sendiri. Sungguh malang nasib sahabat lama, datangnya tak diundang, pamit pulangnya sangat diharapkan.
Dan setelah semua ini, belum tumbuhkah sensitivitas kita dalam kebersamaan? Jika belum, boleh jadi itu karena kebodohan kita. “Dan itulah ibarat-ibarat yang Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang berilmu.” (Al-‘Ankabut: 43) []

(2 April 2010)
Share:

Da'wah dan Kepentingan

Kalau berda'wah jangan bawa-bawa kepentingan pribadi, tapi kalau berurusan pribadi bawa-bawalah kepentingan da'wah.

Kalau berda'wah jangan bawa-bawa kepentingan politik, tapi kalau berpolitik bawa-bawalah kepentingan da'wah.

Kalau berda'wah jangan bawa-bawa kepentingan bisnis atau pekerjaan, tapi kalau berbisnis atau bekerja bawa-bawalah kepentingan da'wah.

Kalau berda'wah jangan bawa-bawa kepentingan keluarga, tapi kalau berkeluarga bawa-bawalah kepentingan da'wah.

Kalau berda'wah jangan bawa-bawa kepentingan kelompok/partai, tapi kalau berpartai bawa-bawalah kepentingan da'wah.

Kalau berda'wah jangan bawa-bawa kepentingan teman dan sahabat, tapi kalau berteman dan bersahabat bawa-bawalah kepentingan da'wah.

Kalau berda'wah jangan bawa-bawa kepentingan selera, tapi kalau berselera bawa-bawalah kepentingan da'wah.
Share:

Syair Imam Syafi'i


Berikut beberapa syair Imam Syafi'i rahimahullah yang disalin dari Buku "Diwan Syafi'i"

Antara Fiqh dan Tasawuf
menjadi faqih dan sufi, jangan jadi satu saja
kunasehati engkau agar waspada
yang ini keras, hatinya tak pernah mengenyam taqwa
yang ini jahil, apa dengan jahil bisa lurus suatu perkara?

Menjelang Kematian
banyak orang suka berhura-hura
padahal maut bertengger di atas kepalanya
jika saja ia bisa melihat yang tidak kasat mata
ia bisa mati tiba-tiba tersebab sedihnya
barangsiapa yang tiada diberikan padanya pengetahuan
akan kepastian adanya esok hari
mengapa pula ia selalu sibuk memikirkan
soal rizki untuk lusa nanti

Introspeksi Diri
seseorang jika berakal dan terpelihara
tak akan sibuk mencari cacat orang sekitarnya
sebagaimana orang jika sedang merasakan nyeri terluka
tak akan sempat memedulikan erangan dari yang lainnya

Perihal Buruk Sangka
prasangkamu tidak lain adalah sebuah keburukan
dan sangka yang buruk adalah fitnah paling kejam
manusia-manusia, di tempatnya yang penuh celaka
membuang persangkaan baik dan indahnya bahasa

Perihal Aib Jiwa
kita mencela zaman padahal kehinaan ada pada kita
sungguh, di zaman kita, tidak ada kehinaan selain kita
tetapi, kita telah menghina zaman yang tak berdosa
ah, jika zaman bisa bicara pastilah ia berbalik mencela
serigala pun tidak akan memakan daging serigala lainnya
tapi, sebagian kita terang-terang memakan sebagian lainnya

Enam Syarat Mendapat Ilmu
saudaraku, kau tak akan mendapatkan ilmu
kecuali melalui enam pintu
dengan rinci akan kusampaikan kepadamu:
kecerdasan, kesungguhan
ketekunan, kecukupan
persahabatan dengan guru
dan panjangnya waktu

Menerima Qadha & Qadar
usah engkau hiraukan hari-hari dan bekerjalah sesuka hati
lalu hiburlah diri jika qadha telah menjadi pasti
jangan gelisah pada kisah malam dan ngeri
sementara nyeri hidup sendiri tidaklah abadi
maka jadilah engkau seorang yang kuat menghadapi kesedihan
itu kan menjadikanmu berbudi sempurna dan berdada lapang
ketika engkau merasa berlimpah cela dalam kehidupan sesama
tertutupnya cela itu tentu saja akan membuatmu bahagia
cobalah engkau menutupinya dengan derma
karena dermalah yang mampu menutup cela
janganlah kau menatap musuh dengan tatapan menghina
karena ketersinggungan musuh adalah awal dari bencana
tak perlu juga kau mengharap kedermawanan si kikir
bukankah, bagi yang haus, di neraka tidak ada air?
tidak mempengaruhinya sedih yang panjang atau kegembiraan
tidak pula kemiskinan yang disembunyikan atau kemewahan
jika engkau memiliki hati yang penuh rela
maka dengan penguasa dunia engkaulah sama
siapa saja jika saat matinya telah datang
tidak bumi tidak langit mampu menahan
bumi Allah teramatlah lapang, namun
saat putusan-Nya datang sempitlah gurun-gurun
acuhkanlah musim yang selalu memberi janji
sebab tidak ada obat yang bisa menyembuhkan mati
Share:

Teruntuk Para Guruku

Salam rindu kualamatkan padamu. Salam hormat demi menjaga amanat. Semoga keberkahan ilmu terlimpah selalu, bagi para ‘alim pegiat yang selalu dambakan rahmat. Semoga tak tersinggung engkau kusebut sebagai “Guru”. Walau mungkin ada di antaramu yang tak mengenalku. Tapi bolehlah aku berguru karena segenap keterbatasanku. Setidaknya aku ingin mengikutimu sebagai orang yang telah sukses mengarungi samudera kehidupan ini, untuk menemukan makna dan menjadi bermakna bagi orang lain. Bagi bangsa ini, bagi umat, engkau adalah guru yang mencerahkan. Sudah selayaknyalah begitu.

Di sini, di tengah kehidupan yang penuh dinamika dan segenap tantangan, kami merindukan hadirnya guru yang pemimpin dan pemimpin yang guru. Seperti karakter dan peran pemimpin muslim yang pernah dilontarkan Imam Al-Banna, “Sebagai ayah dalam hubungan hati, syaikh dalam pembinaan ruhani, ustadz dalam hal keilmuan, dan sebagai komandan di medan da’wah.” Semestinyalah kami pun menuju ke sana. Tapi tidaklah itu mudah dan murah harganya.

Di antaramu ada yang terus menasehati kami tanpa bosan walau banyak di antara kami yang membandel dengan segala tingkah kekanakan. Ada di antaramu yang memberi kami peluang, tantangan, sindiran dan teguran, instruksi dan komando, hingga pelajaran dan hukuman.

Patutlah kami mengingat nasehat Imam Syafi’i seputar ilmu dan taqwa: “Bersabarlah atas pahitnya hukuman dari seorang guru, sebab di dalam kemarahan guru mengendaplah ilmu. Siapa tidak pernah sedikit pun merasakan susahnya belajar, ia harus menenggak rendahnya kebodohan seusia terhampar. Dan bagi siapa yang di waktu mudanya enggan mengaji, bertakbirlah untuknya empat kali, sungguh ia telah mati. Nilai seorang pemuda, demi Allah, adalah pada ilmu dan taqwa. Ketika keduanya tidak ada, tidaklah dianggap keberadaannya.”

Dan ada banyak di antara kami yang ingin pintar dalam waktu hanya sebentar. Banyak yang ingin pandai padahal hanya berandai-andai. Banyak yang ingin mudah tanpa tahu arti susah. Dan kembali Imam Syafi’i menasehati: “Saudaraku, kau tak akan mendapatkan ilmu kecuali melalui enam pintu. Dengan rinci akan kusampaikan padamu: ­kecerdasan, kesungguhan, ketekunan, kecukupan, persahabatan dengan guru, dan panjangnya waktu.” []
Share:

Kenapa Kita Mudah Kecewa?

"Kenapa kita mudah kecewa kepada orang lain?" Mungkin pertanyaan di atas sesuai dengan keadaan diri kita. Atau boleh j...